Public Relations di Era 5.0

1. Era 5.0 menurut Elizabeth Goenawan Ananto, Ph.D, FIPRA

Yang saya pahami, era 5.0 merupakan era transformasi digital – merubah berbagai kebiasaan dan cara hidup. Digital diaplikasikan secara nyata dan berpusat pada kehidupan manusia untuk lebih dapat menikmati hidup.  Era data tanpa batas untuk peningkatan kualitas dan pertumbuhan masa depan dimana semua usia dapat menikmati kehidupan yang lebih baik.  Istilah 5.0 dicetuskan di Jepang dimana 26% dari penduduknya berusia 65 tahun. Dalam era ini diharapkan bahwa penduduk di desa terpencil akan mempunyai akses transportasi, fasilitas kesehatan, infrastruktur yang semuanya terhubung dengan sarana teknologi (seperti drone, robot).


2. Pendapat Elizabeth Goenawan Ananto, Ph.D, FIPRA mengenai ‘Era 4.0 dikenal sebagai era kustomisasi, sedangkan 5.0 lebih kepada personalisasi’.

Read more: Public Relations di Era 5.0

Era 4.0 pada dasarnya merupakan era information society (era informasi), dimana jaringan teknologi – sebagai perangkat untuk masuk ke era 5.0 > evolusi sosial – super-smart society era penerapan teknologi informasi untuk peningkatan kehidupan manusia berdasarkan kebiasaan masyarakat. Era 5.0 merupakan era yang dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat yang tidak terpikirkan sebelumnya – atau dianggap tidak mungkin terjadi. Minimal itu yang saya fahami. 


3. Perbedaan mendasar antara 4.0 dan 5.0

Era 4.0 merupakan era jaringan teknologi sedangkan era 5.0 penerapan jaringan teknologi informasi untuk peningkatan kehidupan manusia yang diarahkan kepada kebutuhan individual. Diharapkan dalam era 5.0 semua manusia / penduduk terkoneksi dengan data – big data, IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), robot – yang dapat memberikan solusi secara cepat untuk memenuhi kebutuhan individu secara spesifik, yang berbeda satu sama lain. 


4. Bagaimana seharusnya PR menggunakan teknologi seperti big data untuk mempermudah aktifitas PR?

Perlu diingat bahwa aktifitas PR itu sangat luas. Aktifitas PR yang mana ??  Siapa sasaran kegiatan PR? Internal External,  Publik, Organisasi atau Negara? Big data – data apa yang dimiliki ? Seberapa besar info datanya Pengumpulan data nya, bagaimana caranya – sedalam apa risetnya? 

Dalam konteks Indonesia – sangat unik – tidak bisa dibandingkan dengan Negara lain dan Indonesia tidak dapat juga meniru negara lain karena adanya perbedaan yang hakiki antara lain : Kesiapan perangkat – SDM – pola pikir. 

Big data harus digunakan untuk mencari titik keseimbangan, untuk menciptakan kedamaian dan suasana harmonis/keserasian yang diperlukan. Penggunaan big data perlu dilandasi oleh etika dan kebijakan untuk tidak merugikan fihak manapun, privacy right harus tetap diperhatikan.


5. Apakah menurut Elizabeth Goenawan Ananto, Ph.D, FIPRA era 5.0 dimana semuanya menjadi lebih personal, menegaskan kembalinya ke era interpersonal relations seperti ruh dalam praktek PR?

Era 5.0 menekankan kepada kepentingan, kenyamanan hidup setiap orang yang unik, yang memiliki karakteristik dan kepentingan yang berbeda. Seperti juga praktek PR (public dalam terminology Public Relations, adalah publik yang tersegmentasi – bukan masyarakat luas (society) – era ini mencanangkan peningkatan kualitas hidup secara individual yang berbeda dengan yang lain. 


6. Mengingat era 5.0 ini identik dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang di era 4.0 (Computer Mediated Communication) untuk menjawab masalah manusia secara lebih personal, apakah  praktisi PR sudah siap menghadapi era ini? Era dimana praktisi PR dituntut untuk memiliki kemampuan memetakan karakter audience nya secara lebih personal sehingga mampu membuat konten dan program PR yang lebih tepat sasaran?

Saat ini praktisi PR di Indonesia – meskipun belum ada data secara konkrit posisinya dimana – di tingkat tehnis, managerial atau strategis – belum jelas atas kesiapan mereka untuk menghadapi era 5.0 yang dicetuskan di Negara Jepang tersebut. 

Pemetaan karaktek audience diperoleh jika dilakukan pengumpulan data melalui proses penelitian. Seberapa jauh penelitian terhadap praktisi PR sudah dilakukan? Apakah ada profil praktisi PR  yang terdokumentasi? Seringkali dijumpai kegiatan PR tanpa sasaran yang jelas dan terukur, yang penting terlaksana dan telah menyerap anggaran yang dicanangkan. 

Siap tidak siap – harus dihadapi – minimal diantisipasi dampak positif dan negatifnya untuk kemudian dibuatkan kebijakan komunikasi yang dapat mengurangi dampak negatif apabila 5.0 diterapkan di Indonesia. 


7. Kemampuan teknologi informasi, big data sangat diperlukan di era sekarang, namun segi humanis akan lebih membuat audience mengerti. Bagaimana cara mengelaborasi keduanya? 

Big data tidak dapat memberikan gambaran yang jelas, tanpa adanya interpretasi yang berlandaskan latar belakang sosial dan budaya. Sebagai contoh, orang Amerika, Jepang dan Indonesia membaca big data dengan interpretasi yang berbeda. Karena itu big data perlu dielaborasi secara bijaksana yang sesuai dengan kemampuan dan situasi kondisi kondisi sosial ekonomi Negara yang bersangkutan. 


8. Kompetensi apa yang harus dimiliki PR di era 5.0?

Yang paling penting sebagai dasar kompetensi adalah Edukasi. Peningkatan kemampuan membaca (reading skills). Membaca sumber yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan profesional – bukan membaca opini yang tidak kredible sumbernya. Peningkatan pola pikir untuk menghadapi perubahan teknologi yang berfokus pada kemampuan manusia. Kemampuan komunikasi, kemampuan untuk memimpin, kepekaan sosial, peningkatan rasa ingin tahu dan tidak mudah merasa puas. 


9. Apa tantangan  praktisi PR di era 5.0 dan apa yang harus diwaspadai?

Praktisi PR harus paham betul era baru ini – harus banyak membaca referensi mengenai apa yang ditargetkan oleh pencetusnya.  Jangan ikut ikutan menggaungkan 5.0 kalau tidak paham betul kearah mana kita akan dibawa oleh produsen alat alat canggih, pengganti peran manusia ini. Kita hanya akan dijadikan “pasar” oleh mereka. Ingat bahwa 5.0 dicetuskan oleh Negara industri – produsen alat pengganti manusia. 

Apakah Indonesia sudah siap untuk kehilangan tenaga kerja di bidang sektor jasa seperti kesehatan, pendidikan. Dapat dibayangkan akan terjadinya gap sosial yang lebih besar jika 5.0 diterapkan di Indonesia yang penduduknya tersebar di berbagai pulau dengan tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang tidak merata. 
Jika kita tidak memahami latar belakang, definisi dan arah dari teknologi, kita cenderung akan terseret arus dan tidak punya identitas bangsa. 


10. Apa pesan dan harapan untuk praktisi PR di era 5.0?

Praktisi PR di era apapun – apakah 2.0, 3.0, 4.0 dan sebentar lagi 5.0 perlu memahami the Art of Public Relations yang sebenarnya – dimana intinya praktek PR adalah : “Tell the Truth, Nothing but the Truth” PR tidak boleh berbohong atau memutar balikkan fakta. Dalam berbagai kasus dimana terjadi sengketa, apapun bentuknya, PR mengutamakan “Win-Win Solution”. PR bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara individu, organisasi dengan khalayaknya. PR berfungsi sebagai ‘early warning system’. Mungkin kedengarannya klise – tidak berlaku jika diterapkan di era milenial ini – dimana semua dilakukan dengan serba instan yang seringkali tidak mengindahkan tata kelola praktek ke PR an yang benar. 

Praktisi PR perlu terus belajar, membaca, mengamati perubahan sikap publik kearah kehidupan yang lebih baik. Para profesional PR harus menjadi contoh sebagai ‘Ethic Officer” dimanapun dia berkarya. 

Sebagai penutup : tidak perlu malu dan berbohong kepada publik, untuk berbicara apa adanya, bahwa era 4.0 sedang dihadapi (dan kita tidak terlalu siap untuk menghadapi dampaknya) dan era 5.0 merupakan angan2 yang masih perlu dikaji secara nasional – apa positif dan negatifnya untuk Indonesia yang sangat kompleks ini. Praktisi PR harus dapat menjadi contoh sebagai Agent of Change – agen Perubahan, bukan agen Penjualan!



Elizabeth Goenawan Ananto, Ph.D, FIPRA 

  • Program Director, MM Communication, Trisakti University 
  • Founding Director, EGA briefings 
  • Past President, International Public Relations Association 
  • Founder, International Public Relations Summit 
  • Researcher, Asia Pacific Communication Monitor 
  • Member, Arthur W. Page Society 

(Posted in: Majalah PR Indonesia, Februari 2018)

Leave a Comment

Tulisan ini dipublikasikan di

Tulisan lainnya

Reputasi

Praktisi PR memiliki tanggung jawab untuk membangun reputasi positif perusahaan/organisasinya.

Scroll to Top