Public Relations di Era Disturbing

Era disturbing mengandaikan situasi perubahan yang terus-menerus. Bagaimana upaya yang harus dilakukan seorang praktisi PR untuk terus membuat program-program PR yang dikelolanya senantiasa relevan bagi khalayak yang disasarnya, di era yang kadang unpredictable ini?

Jika kita faham akan peran PR sebagai Agent of Change – praktisi PR senantiasa mengikuti perkembangan situasi internal dan eksternal dalam berbagai aspek yang menjadi tanggung jawabnya. PR perlu mensinergikan visi misi lembaganya dengan mengantisipasi reaksi khalayak yang akan terkena dampak dari perubahan. 

Di lembaga pemerintahan : perubahan kebijakan, perundangan, peraturan, instruksi. Di lembaga swasta – semua perubahan kebijakan yang akan berdampak kepada khalayaknya. Program PR hendaknya dirancang untuk memberikan pemahaman kepada publik yaitu menyampaikan perubahan, berikutnya  – memotivasi khalayak untuk memahami mengapa perlu perubahan dan yang terakhir mengajak khalayak untuk berubah sikap mendukung perubahan yang diharapkan. 

Program PR yang dilaksanakan tanpa arah yang jelas (siapa sasaran, apa key message, mekanisme penyampaian pesan, strategi penyampaian pesan, konsistensi pelaksanaan dan evaluasi keberhasilan) hanya akan menghabiskan dana, tenaga dan tidak dapat diharapkan untuk menghasilkan perubahan sikap publik seperti yang diharapkan. 


Kini, kehadiran para “influencer” kerap dianggap penting dalam membantu kampanye PR sebuah korporasi, terutama saat berkomunikasi dengan generasi milenial. Mengapa hal demikian bisa terjadi, dan apakah fenomena ini akan menepikan peranan media arus utama yang selama ini menjadi tulang punggung praktisi PR untuk menyapa khalayaknya?

Menurut hasil studi yang dilakukan di USA, dalam konteks pekerjaan generasi milenial bekerja pada satu perusahaan paling lama 3 tahun.  Sekitar 63.8% disebabkan karena budaya kerja yang tidak sesuai, ada tawaran dan benefit lain yang lebih baik, serta ketidakserasian dengan supervisor. 

Generasi milenial sangat terpengaruh oleh teman, kolega, keluarga dan media sosial. Peranan influencer yang terfokus kepada faktor emosi penerima pesan, menjadi sangat penting. Para buzzer berperan penting secara positif dalam menguatkan atau negatif, menyesatkan opini publik tentang suatu kejadian yang terjadi. 

Dalam konteks bisnis atau pemasaran suatu produk atau jasa, peranan para influencer diperlukan untuk mempercepat proses pengambilan keputusan untuk membeli – dengan memanfaatkan berbagai sarana media sosial  yang bersifat personalized, sehingga media mainstream menjadi kurang efektif ditinjau dari kedekatan emosi yang dibangun, kecepatan penyampaian pesan serta frekuensi yang tinggi untuk mendorong terjadinya satu tindakan ‘click’ and ‘buy’.  

Perlu disikapi bahwa upaya untuk membentuk reputasi yang semu – seringkali tidak diiimbangi dengan perbaikan perlakuan terhadap konsumen yang pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan generasi milenial ini secara masif dan tidak terkendali – akibat kuatnya peranan media sosial dalam mengubah opini publik, melalui simbol symbol negatif yang ditampilkan yang sangat berpengaruh terhadap emosi seseorang. 

(Posted in: Majalah PR Indonesia, October 2017)

Leave a Comment

Tulisan ini dipublikasikan di

Tulisan lainnya

Reputasi

Praktisi PR memiliki tanggung jawab untuk membangun reputasi positif perusahaan/organisasinya.

Scroll to Top