Praktisi PR memiliki tanggung jawab untuk membangun reputasi positif perusahaan/organisasinya. Namun disisi lain, ia juga memiliki tanggung jawab kepada publik. Bagaimana menyeimbangkan antara tanggung jawab kepada korporasi dan publik ketika mengalami krisis atau kesalahan, siapa yang harus dibela oleh PR?
PR harus membela kepentingan publik, tanpa mengorbankan kepentingan korporasi/organisasi. Reputasi perusahaan perlu difahami sebagai suatu proses yang tidak dapat dibentuk dalam waktu singkat. Sehebat apapun citra yang dikemas, cepat atau lambat, realita keadaan, kondisi, perlakuan terhadap publik internal dan eksternal akan diketahui publik dalam era keterbukaan informasi ini.
Untuk itu PR perlu memiliki kapasitas sebagai negosiator yang akan berfungsi sebagai jembatan antara manajemen dan publik yang terkena dampak dari krisis. Dalam situasi apapun, terutama jika terjadi krisis, PR harus bergerak berdasarkan fakta, bukan asumsi atau berandai-andai. Apa yang sebenarnya terjadi dan menjelaskan, kenapa hal itu terjadi. Dampak dari krisis atau kesalahan tersebut perlu ditelaah, dianalisa dari berbagai sudut pandang (financial dan non financial) dan diputuskan mana yang paling baik dilaksanakan untuk kepentingan publik tanpa mengorbankan kepentingan perusahaan. Tell the Truth, Nothing but the Truth.
Bagaimana strategi PR pasca terjadinya krisis? Dan ketika reputasi perusahaan sudah hancur, bagaimana membangun kembali public trust?
Reputasi hancur karena masalah apa? Kesalahan pengelolaan? Kesalahan keputusan manajemen? Produk gagal ? Sengketa internal? Penyelewengan wewenang atau dana?
Telaah dulu – apa yang menjadi penyebab reputasi perusahaan hancur. Reputasi perusahaan tidak dengan tiba-tiba akan hancur, jika PR-nya difungsikan secara strategik dan managerial – sebagai early warning system.
Pertama, PR perlu meneliti (kumpulkan seluruh data), penyebab dari kehancuran reputasi. Pisahkan orang/ pejabat dengan masalah perusahaan. Hampir pasti, perusahaan atau lembaga lah yang harus diselamatkan. Mengapa? Karena tanggungjawab sosial terhadap manajemen, karyawan, dan semua stakeholders yang berkepentingan dengan eksistensi perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan merupakan ‘legal entity’ yang berkaitan dengan hukum dan undang2 yang berlaku.
Ke dalam perusahaan, PR harus mendapatkan wewenang dari top management untuk melaksanakan program komunikasi pasca krisis dengan memberikan pengertian, pemahaman permasalahan, sampai kepada perubahan persepsi dan sikap yang diharapkan kondusif untuk dapat memahami dan menerima fakta yang terjadi serta dampaknya dalam bentuk materi atau non-materi.
PR perlu membuka kesempatan berkomunikasi dengan pihak internal, departemen yang terkait dengan permasalahan yang menyebabkan krisis dengan menerapkan formula 4 F – Factual, Frank, Friendly and Fair.
Ke luar – khususnya dengan media – PR harus secara terus menerus menginformasikan langkah langkah perbaikan, keputusan manajemen untuk menanggulangi krisis. Bicara secara jujur tanpa menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Secara berkala – informasi mengenai penanganan krisis perlu dikomunikasikan secara terbuka. Publik diharapkan dapat memahami permasalahan yang sebenarnya dan memberikan dukungan kepada manajemen untuk upaya perbaikan yang dilakukan perusahaan. Kepercayaan publik secara bertahap akan terbentuk melalui sikap kejujuran dan tanggung jawab serta empati perusahaan terhadap pihak pihak yang terkena dampak dari krisis tersebut.
(Posted in: Majalah PR Indonesia, September 2017)