1. Apa yang menjadi faktor penentu praktek Public Relations?
Hasil riset menyebutkan ada 4 faktor penentu praktek PR dalam organisasi.
- Persepsi Manajemen terhadap PR
- Budaya Organisasi
- Kualitas praktisi PR
- Ada tidaknya pressure group
Pakar PR menyatakan bahwa jika manajemen menganggap PR itu penting, maka dia akan diposisikan sebagai unit yang penting dalam struktur organisasi. Sebaliknya, apabila manajemen menganggap peranan PR itu kecil, maka dia akan diposisikan sebagai unit kecil saja dan kontribusinya juga tidak akan berarti/kecil.
Dalam prakteknya, yang lebih menentukan adalah akses PR kepada top management, bukan hanya posisinya dalam struktur organisasi.
Budaya organisasi menentukan kiprah PR. Sejauh Mana dia diberikan peluang atau kewenangan untuk mengembangkan potensinya. PR hanya dapat berkembang dalam organisasi dengan budaya yang terbuka, artinya dalam keseharian, dimungkinkan terjadinya dialog – yang dapat menghasilkan kesefahaman. Hubungan atasan dan bawahan dan antar sesama karyawan dilakukan atas dasar partnership, bukan otoriter dan kaku dalam bentuk perintah semata. Dalam budaya yang terbuka, PR dapat memberikan masukan tanpa ada rasa takut atau khawatir dipersalahkan.
Kualitas praktisi PR juga sangat menentukan efektivitas dan kontribusi peran dan fungsi PR ini. Dia harus faham nilai nilai perusahaan yang menjadi pegangan utama kegiatan komunikasi yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Kualitas terdiri dari kemampuan melaksanakan tugasnya, kreativitas termasuk integritas dirinya sendiri.
2. Mengapa orang awam masih mempertanyakan istilah ‘public relations’ dan sering diartikan sebagai sarana promosi dan publikasi lembaga?
Dalam banyak kasus ditemukan perjuangan praktisi PR untuk menjelaskan istilah PR, peran dan fungsinya kepada atasannya, karena keterbatasan pemahaman manajemen atau petinggi organisasi terhadap profesi yang masih dianggap baru berkembang ini.
Istilah public relations dapat dijabarkan sebagai suatu komunikasi yang strategis, terarah kepada publik tertentu yang dikomunikasikan dengan berbagai saluran komunikasi agar terjadi perubahan sikap.
Public relations berbeda dengan komunikasi massa. Sasaran utama praktek PR adalah perubahan sikap publik. Dari yang tidak tahu, menjadi tahu. Dari yang tidak suka menjadi netral kemudian diharapkan setelah ada pemahaman melalui komunikasi terbuka, dialog atas dasar kesamaan posisi, kemudian dapat diharapkan dukungan, memberitakan dan merekomendasikan kepada orang lain tentang suatu kebijakan (untuk lembaga/pemerintahan) atau pembelian produk / destinasi / jasa – yang dilakukan dalam bentuk aktivitas komunikasi atau event.
3. Apakah ada perbedaan istilah “Humas” dengan “Public Relations” berpengaruh dalam prakteknya sehari-hari?
Istilah Humas sering diasosiasikan sebagai praktek komunikasi di lembaga pemerintahan dengan konotasi peran yang cenderung lebih teknikal seperti keprotokolan, dokumentasi, kliping berita dan komunikasi dengan media dan diseminasi informasi. Dalam konteks ini, peran dan fungsi lebih sebatas ‘reaktif’, menanggapi opini publik yang mungkin keliru karena terjadinya distorsi komunikasi. Sementara istilah public relations, banyak digunakan di lembaga swasta.
Dalam perkembangannya, istilah ini kurang difahami dan seringkali dipersepsikan negatif, dianggap mengandung pengertian yang kurang baik, misalnya istilah ‘purel’, sehingga sejak tahun 1990an di Indonesia dikenal dengan istilah ‘corporate communication’ disingkat ‘corcom’.
Konotasi positif atau negatif terhadap istilah ini sebenarnya bukan merupakan kendala – karena pada prakteknya yang dinilai adalah hasil kerja Humas, PR atau CorCom ini – apakah hanya sebatas pemadam kebakaran, penyambung lidah pimpinan, atau sebagai jembatan organisasi dengan konstituennya yang intinya sebagai ‘strategic counselor’ terhadap organisasi dimana praktisi berkarya. Untuk itu, PR harus bersikap ‘proactive’ untuk memberikan pemahaman kepada publik sehingga mendapatkan kepercayaan publik.
4. Humas atau public relations merupakan profesi terbuka (Ananto, 2001) yang dinyatakan oleh 90% responden penelitian sederhana yang melibatkan 270 praktisi. Artinya, siapa saja dengan berbagai latar belakang dapat menjadi praktisi dalam bidang ini. Apakah ini menjadi trend di dunia dan di Indonesia ?
Banyak penelitian mengenai latar belakang praktisi di bidang public relations ini yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi tuntutan kerja seorang praktisi, semakin diperlukan pemahaman dan keterampilan yang lebih dari dari sekedar kurikulum yang diajarkan di sekolah.
Disini kemudian muncul istilah ‘generalist’ dan ‘specialist’ dan kalau di organisasi praktisi public relations dunia dimana saya berkembang, dikenal istilah ‘professional’ untuk mereka yang memahami ilmu dan praktek PR, serta mereka yang menderung masuk ke dunia ini tanpa latar belakang ilmu disebut sebagai ‘enthusiastic amateur’.
Di Indonesia, sedang dicoba melalui pendidikan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang memberikan pengakuan terhadap pengetahuan, kemampuan dan keahlian seseorang. Sertifikasi memang diperlukan untuk mencari pekerjaan – tetapi tidak dapat digunakan untuk meyakinkan lingkungan, terutama atasan dimana kita bekerja, karena pada dasarnya ‘kompetensi di lapangan’ yang paling dicari dan dinilai bukan Sertifikasi. Sertifikasi hanya merupakan ‘ticket to ride’ – tetapi bagaimana menjadi ‘the most effective rider ‘ adalah persoalan yang lain.
5. Praktek PR yang konservatif tidak dapat menjawab kompleksitas permasalahan yang terjadi. Apa tantangan praktisi PR di era digital sekarang ini? Indikator apa yang menyatakan bahwa seorang PR dapat disebut sebagai professional?
Semua potensi praktisi perlu dikerahkan untuk dapat mengikuti tantangan dampak dari keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi komunikasi yang secara signifikan merubah pola komunikasi organisasi secara keseluruhan.
Indikator yang jelas dapat dilihat apakah ada unsur Kode Etik Profesi PR yang dilanggar dalam menjalankan praktek PR, atau ‘tabrak saja’ karena tidak tahu, adanya tuntutan atasan, pasar atau target pencapaian nilai ekonomi. Praktisi PR yang profesional, akan patuh pada Kode Etik Profesi.
Di Negara maju, setidaknya dalam organisasi profesi PR dunia, dimana saya berkembang, pelanggaran terhadap kode etik ini dapat mengiring seorang anggota untuk 1) diperingati 2) dibekukan keanggotaannya dan 3) diberhentikan sebagai Anggota.
Sederhana saja, misalnya: menyebarkan berita yang sifatnya provokatif, ber-politik, memberi uang suap, memanfaatkan fasilitas yang bukan haknya.
Sayangnya, di Indonesia, Kode Etik Kehumasan baru sebatas wacana – belum benar benar diterapkan pada Anggota. Sejak 1992, belum pernah ada seorang praktisi PR kena sanksi Kode Etik. Siapa yang berani mulai?
6. Berbagai kendala dihadapi oleh praktisi PR antara lain dengan atasannya yang kurang memahami peran dan fungsi PR. Bagaimana cara mempersempit kesenjangan antara potensi praktisi PR yang terhambat karena faktor internalnya?
“Kami tahu apa yang harus kami lakukan, akan tetapi kendala birokrasi menghambat tugas kami sehingga ya sudah, terserah atasan maunya apa”.
Dimanapun di dunia ini, yang namanya atasan – selalu merasa lebih tahu daripada bawahannya. Rasa lebih tahu ini secara perlahan tapi pasti dapat mulai dikurangi melalui pendekatan persuasif dalam bentuk komunikasi yang sifatnya advocacy – berupa story telling, atau analisa kasus terhadap peristiwa yang terjadi pada lembaga lain (biasanya pesaing) dan bagaimana strategi komunikasi yang sebaiknya dilakukan, sehingga dapat keluar dari permasalahan yang dihadapi (exit strategy). Pendekatan ‘rapport’ dengan atasan ini, perlu dilakukan secara sistematis dengan memperkenalkan ‘early warning system’ yang merupakan peran penting dalam praktek kehumasan. Biasanya praktek PR yang manajerial dan strategis, baru dapat dibentuk, jika terjadi krisis.
Cara lain dengan mengadakan praktek simulasi / role play yang dihadiri oleh pimpinan organisasi ‘ what if”, yang dapat disisipkan dalam acara tahunan yang dilakukan dalam suasana santai – tapi ada ‘key message’ yang terarah kepada top manajemen – sehingga diharapkan adanya pemahaman mengenai peran dan fungsi PR yang lebih strategis.
7. Apakah semua lembaga harus memiliki Humas yang strategis?
Lembaga atau organisasi yang berfungsi hanya sebatas memberikan pelayanan kepada masyarakat lebih mementingkan diseminasi informasi kepada publik yang berkepentingan. Jika tidak banyak terdapat perubahan kebijakan, tidak banyak terjadi gejolak – diperlukan Humas sebatas memberikan pelayanan informasi.
Semakin tinggi tingkat kepentingan publik terhadap keberadaan lembaga itu, semakin diperlukan Humas yang manajerial dan strategis – untuk mengantisipasi : reaksi publik atas kebijakan baru yang akan diberlakukan.
Semakin tinggi tekanan dari pihak luar, biasanya – peran dan fungsi PR semakin dituntut ke arah yang managerial dan strategis. Semakin banyak perubahan dan tekanan terhadap perusahaan, semakin tinggi tuntutan terhadap praktek PR ke arah yang lebih manajerial dan strategis.
Dalam era digital ini – sudah saatnya semua organisasi, baik pemerintah maupun swasta – tidak lagi menerapkan Humas yang konvensional (protocol, dokumentasi, klarifikasi berita, press clipping dan sebagainya).
Penguasaan media terutama media sosial perlu dimiliki oleh praktisi Humas, karena opini publik dapat berkembang yang dipicu dengan hanya satu foto atau tulisan di FB – yang dapat memungkinkan terjadinya sentimen publik dan berpotensi menjadi trending topic di media sosial dalam kalangan tertentu. Karena itu, diperlukan praktisi PR yang peka dan positioning – sehingga tidak menjadi kontradiksi antara nilai perusahaan dengan kelakuan pribadi praktisi PR nya.
8. Apa indikator / ukuran keberhasilan praktik PR?
Banyak praktisi yang kurang memahami bahwa target kegiatan PR yang sebenarnya adalah ‘merubah sikap publik’. Perubahan sikap publik ini tidak semata mata dapat dilakukan melalui iklan jor joran, jumpa pers yang berkali-kali, kampanye heboh di media terutama televisi dengan biaya yang aduhai.
Tergantung di tahap mana kita mau mengevaluasi keberhasilan praktek PR apakah dari banyaknya media komunikasi yang dihasilkan, banyaknya kegiatan, besarnya anggaran yang digunakan atau sejauh mana kegiatan PR dapat merubah sikap publik.
Sebagai ilustrasi jika yang diharapkan adalah merubah sikap publik, perlu satu rangkaian strategi pencapaian kearah yang diharapkan – kampanye yang terarah, terprogram dan berkesinambungan.
Untuk korporat ‘ bisnis’ – indikator keberhasilan program adalah memperkecil kesenjangan antara harapan pimpinan lembaga dan harapan publik yang dapat dipenuhi oleh lembaga.
Ukuran keberhasilan praktek PR hanya dapat diperoleh melalui Riset – yang dilakukan sebelum, di tengah dan sesudah program komunikasi dilakukan. Sejauh Mana terjadi perubahan kearah perbaikan trend, ratio, presentasi – yang diukur secara kuantitatif.
Keberhasilan untuk menyajikan data secara kuantitatif inilah yang pada umumnya merupakan kendala praktisi PR untuk meyakinkan atasannya, sejauh mana PR memberikan kontribusi (finance dan non finance) kepada organisasi. Profesional PR harus dapat berbicara kepada manajemen dengan ‘hard fact’ dalam bahasa Manajemen atau ROI. bukan ilusi, emosi atau asumsi.
(Posted in: Majalah PR Indonesia)