Public Relations di Era COVID-19

    1. Apa yang menjadi pekerjaan PR di era pandemic Covid-19?
      Perlu difahami bahwa PR dalam persepsi saya adalah PR sebagai fungsi manajemen. PR sebagai suatu pendekatan yang terintegrasi, bukan PR sebagai pelaksana tehnis yang terfokus pada petugas informasi dan komunikasi. Karena pelaksanaan peran dan fungsi PR ini ditentukan oleh  top management  – PR nya dipekerjakan sebagai apa? Tehnisi saja yang tugasnya antara lain menyampaikan informasi, meralat berita yang tidak benar, membuat produk komunikasi (output) – atau managerial yang merencanakan program yang bernuansa ke arah perubahan untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman publik (outgrowth)  – atau di tingkat strategis yang menganalisa fenomena yang terjadi dan mencari alternative solusi untuk mempertahankan eksistensi lembaga melalui perencanaan program komunikasi yang mencerminkan perubahan pola pikir  kea rah transformasi informasi (outcome). Dalam kaitan tentang pandemi Covid-19 fokus konten pastinya seputar bahayanya Covid-19, langkah pencegahan dan solusi untuk mengatasi penyebaran virus yang berbahaya ini.
    2. Hal-hal prinsip apa yang harus dikembangkan  PR di masa pandemi?
      Di masa pandemi tugas PR perlu diarahkan kepada hal hal yang positif, yang memberikan semangat, harapan untuk kehidupan baru, bukan menakut-nakuti, mengeluh dan mengemukakan rasa pesimistis. Di tengah suasana ketidakpastian, apapun bentuknya, PR harus selalu berada di garda depan untuk memberikan harapan kepada publik, internal maupun eksternal. PR tidak boleh memberikan janji-janji palsu atas perintah atasannya. PR harus berani berhadapan dengan pimpinannya untuk bicara jujur, transparent yang didukung oleh fakta perubahan yang terjadi. Bicara berdasarkan data – bukan intuisi atau prediksi, apalagi asumsi atau kira-kira.
      PR harus berani transparent, terbuka dan tidak boleh berbohong. Apapun keputusan manajemen, harus disampaikan dengan nada ‘empati’ dengan mempertimbangkan reaksi orang – karyawan atau pihak pihak  yang terkait dan merasa dirugikan karena keputusan manajemen.
    3. Pada masa pandemi, terdapat dorongan/tuntutan  untuk memberikan empati lebih tinggi dari sebelumnya. Bagaimana mengembangkan kemampuan empati dalam bentuk program-program  PR yang mumpuni?
      Suatu kegiatan yang dilakukan dengan empati yang tulus, dapat dirasakan bedanya dengan kegiatan yang semata-mata untuk menarik simpati publik atau sekedar mencari popularitas. Hal ini tidak dapat dilihat dengan kasap mata, tetapi stakeholders dapat merasakan – kecuali kalau praktisi PR yang tidak pandai mengemas kegiatannya – sehingga terkesan mencari publisitas sesaat dengan menunggangi isu pandemi. Jika sesuatu pekerjaan dilakukan secara tiba-tiba dan publik berkomentar – koq tumben yah, ngga ada angin, ujug ujug berubah arah,  – tentunya empati yang dibuat-buat, direkayasa.  Program PR perlu dilaksanakan secara berproses, terarah, terencana, berkelanjutan dan terukur keberhasilannya – bukan hebohnya yang sesaat. Kemampuan empati minimal dengan menghindari hal hal yang menonjolkan klaim atau kehebatan lembaga, kebanggaan yang kadang-kadang berlebihan, sehingga dapat menimbulkan sikap antipati publik.
    4. Bagaimana upaya mempertahankan kredibilitas intitusi/perusahaan di masa pandemi?
      Dalam situasi ketidakpastian, perusahaan perlu tetap eksis melalui kegiatan sosial kemasyarakatan – tidak promosi jor joran. Evaluasi internal, komunikasi yang lebih terbuka dengan karyawan, lebih memperhatikan suasana kekeluargaan dengan semua pihak – tenggang rasa yang lebih tinggi, akan sangat berpengaruh terhadap kredibilitas.  Tidak memecat karyawan secara sepihak – ada dialog, kompromi sehingga tidak terjadi perlawanan yang menjadikan krisis secara terbuka.  Kredibilitas dapat dipertahankan dengan lebih memperhatikan aspek internal –management dan karyawan, untuk menciptakan rasa TRUST, dukungan dan kepercayaan dari pihak internal.
    5. Apa pengalaman/pengamatan Anda terkait  cara kerja PR di masa pandemi? Apa yang penting diperhatikan dan hal-hal yang penting dihindari?
      PR harus merubah cara kerjanya, terutama ‘pola pikir’ atau mindset tentang pekerjaan PR. Praktek black campaign perlu disudahi, publik perlu empati yang lebih tinggi dalam arti ‘pertahanan kehidupan secara hakiki’. Tidak aka nada gunanya memberikan harapan kosong kepada karyawan, konsumen, investor sekalipun – karena semua fenomena dapat berubah dengan cepat. Penting diperhatikan bahwa publik perlu disiapkan mental, phisik dan kehidupan sosialnya untuk menghadapi sesuatu yang baru dengan merubah kebiasaan yang lama. Hindari kebijakan atau kegiatan yang sifatnya ‘kagetan’ – perlu ada proses secara bertahap sehingga tidak terjadi kegiatan kontroversi yang merugikan lembaga.
    6. Bagaimana opini Anda mengenai keberhasilan praktek PR selama ini?
      Keberhasilan peran dan fungsi PR terkait banyak faktor : Pertama, pemahaman manajemen terhadap peran dan fungsi PR. Bagaimana management men’value’ PR ini. Ke dua, bagaimana budaya perusahaan yang ada, gaya kepemimpinan yang dikembangkan di perusahaan. Ke tiga, seberapa jauh praktisi PR menguasai permasalahan organisasi dan kemampuan untuk mengkomunikasikan ke arah perubahan atau perbaikan yang diharapkan. Yang saya amati, meskipun sudah banyak perubahan kea rah yang lebih managerial,  masih terdapat praktek PR sebatas event organizing. Sangat bangga kalau dapat melaksanakan kegiatan yang beragam dengan anggaran yang besar, tetapi kurang terarah tujuannya mau kemana? Mungkin sekali kegiatan tersebut ingin menciptakan kesan ‘wah, image yang wow’ tetapi tanpa tujuan yang jelas dan terarah. Tidak ada data awal sehingga tidak juga dapat dievaluasi.   Selama KPI yang diukur sebatas penyerapan anggaran, dan bukan kepada efektivitas dan perubahan prilaku – selamanya peranan PR kurang efektif. Pemborosan dana – begitu kesannya. Tidak heran kalau manajemen senior atau pemberi jasa terutama dari sudut pandang keuangan, mengatakan bahwa kegiatan PR hanya ‘cost’ (biaya, pengeluaran) bukan ‘social investment’, dan karenanya unit PR ini dengan sangat rentan dan mudah dipangkas anggarannya jika sales, pendapatan, profit menurun.
    7. Ada istilah PR IS THE KING, INTERNAL COMMUNICATION IS THE PRINCESS.
      Dalam era media sosial, setiap orang dapat mengatakan apa saja – bebas merdeka. PR is dead, PR is replaced by content creator. PR is the King – PR is digital, PR is magic, whatever.
      Dalam pengalaman saya sebagai akademisi, pengurus dan anggota organisasi profesi di dalam dan diluar – khususnya sebagai konselor, konsultan dan praktisi senior di bidang ini – saya berpendapat bahwa if PR is the King, internal communication is the Kingdom.
      Mengapa? Yang muncul ke publik adalah si PR nya – gambaran holistic yang dia cerminkan ke luar adalah bagaimana situasi internalnya, termasuk komunikasinya (management behavior, policy, procedure, ethics and professionalism) akan tercermin dari verbal dan non verbal communication (pilihan kata kata, logika berfikir, nada suara) dan gesture serta semua nuansa yang ditampilkan.
      Institusi yang arogan, akan ditampilkan dari sikap juru bicaranya, kegiatan yang dilakukan. Internal communication is the real Kingdom.
      ‘Character is like a tree and reputation is like its shadow. The shadow is what we think of it, but the tree is the real thing’ (Abraham Lincoln).
    8. Apa strategi kunci untuk PR di masa mendatang?
      Strategi kunci mengenai PR perlu dimulai dari top management. Bagaimana peran dan fungsi PR dilembagakan (institutionalizing) – bukan didorong maju ketika ada masalah (fire brigade). CEO di berbagai industri perlu mendorong terjadinya perubahan arus transformasi budaya kerja kearah perubahan rancangan bisnis ke depan.
      Karena peran dan fungsi PR terkait dengan manajemen lembaga – sangat tidak mungkin mengharapkan PR berubah, beradaptasi jika budaya perusahaan tidak terbuka kepada perubahan. PR bekerja dalam sistim organisasi yang berkaitan dengan fungsi manajemen yang lain – Human Capital, Marketing, Finance, Legal, IT. Singkatnya – kebijakan perlu ditata kembali berdasarkan data dan arah perubahan secara holistic,  dan operationalnya perlu dikembangkan kearah yang mendukung perubahan kebijakan. PR difungsikan sebagai integrator yang akan memimpin perubahan yang seluruhnya dimulai dari perubahan sikap dan prilaku yang mencerminkan etika, transparensi dan manfaat untuk orang banyak (societal impact). Suatu tantangan yang tidak mudah untuk para pelaku PR di masa sekarang dan terutama masa depan.
    9. Mohon tips dan trik menjalankan PR di era mendatang
      Strategi dan tip. Istilah ‘trik’ (yang berasal dari kata tricky, yang mengandung pengertian siasat, licik) tidak saya rekomendasikan untuk pekerjaan PR yang memerlukan kejujuran dan keterbukaan.
      • Lupakan kejayaan masa lalu – catat saja sebagai tambahan untuk personal portfolio. Kenapa, karena publik sekarang tidak akan silau dengan masa lalu, sekarang – bagaimana – apa yang dapat kita perbuat /kontribusikan kepada masyarakat
      • Kebiasaan ‘copy and paste’ perlu segera ditinggalkan, karena setiap lembaga unik, otentik, tidak dapat dibandingkan, apalagi jika berbeda budaya.
      • Kuasai Big Data dan tingkatkan daya analisa – untuk mengembangkan program komunikasi secara lebih terarah, terprogram, berkesinambungan dan terukur efektivitasnya.
      • Jangan terseret kepada digitalisasi – ROH pekerjaan ada di dalam PR – yang dibantu oleh digital, bukan sebaliknya. Perlu diantisispasi, dampak negatif dari digital.
      • Tetap optimis untuk menjalankan profesi PR kearah perubahan. Pesan saya untuk praktisi dan profesional PR : If you cannot get what you deserve, be happy with what you negotiate.
    10. Points to remember:
      • Public relations is management function  – it is a strategic counseling, rather than publicity alone. It is a scholarly body of knowledge. (Grunig).
      • Semakin besar suatu organisasi, semakin diperlukan pelaksana PR yang bukan saja mengerti dan menjalankan kegiatan komunikasi akan tetapi pemahaman yang holistik tentang visi, misi, tujuan dari organisasi untuk menyampaikan nilai nilai perubahan yang perlu diketahui oleh publik.
      • Pemimpin organisasi, senior manager dan praktisi PR – perlu lebih memahami peran dan fungsi PR untuk organisasi:  Public Relations, beyond Promotion and Publicity. Informasi mengenai edukasi dan pelatihan dapat diakses di website EGA briefings.

    Elizabeth Goenawan Ananto, Ph.D, FIPRA

    Founding Director, EGA briefings – www.egabriefings.id

    Catatan : artikel ini mengacu kepada hasil wawancara Majalah Mix, dengan sedikit perubahan.

    Leave a Comment

    Scroll to Top